26 April 2009

MAU SEHAT

पसिएँ-पसिएँ यांग मेंघदंग रादिओतेरापी
Oleh : ARIEFhENDRA GUMELAR
PELAYANAN radioterapi di Tanah Air tidak aman. Begitulah isi surat Kedutaan Besar Prancis kepada Departemen Kesehatan. Segera dilakukanlah penelitian oleh para ahli keselamatan instalasi radioterapi yang berasal dari Indonesia dan Prancis. Kesimpulan tim investigasi tersebut ternyata tidak jauh dari isi surat tadi: praktik radioterapi di Indonesia tidak meyakinkan.Hal itu terjadi empat tahun lalu. Dan baru tahun ini ada gerakan untuk memperbaiki pelayanan radioterapi, pelayanan yang jumlah pasiennya tak bisa dikatakan sedikit. Mohammad Ridwan, Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) lembaga yang baru berdiri setahun setelah dilakukan penelitian pelayanan radioterapi itu, tengah menyiapkan sebuah draf peraturan jaminan kualitas layanan radioterapi. Rancangan tersebut diharapkan bisa memancing para pengelola radioterapi untuk membuat standar jaminan kualitas layanan.Menurut rencana, akan diadakan sebuah workshop untuk membahas masalah tersebut, awal tahun depan. Dari situ, jika semua berjalan lancar, kesepakatan menyangkut standar kualitas layanan yang telah disepakati secara bersama akan dijadikan peraturan Bapeten.Sejauh ini, tujuh asosiasi profesi (Perhimpunan Dokter Spesialis Radioterapi Indonesia, Persatuan Ontologi Radioterapi Indonesia, Persatuan Ahli Radiografi Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Dokter Gigi Indonesia, Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia, dan Himpunan Fisika Medik) sepakat bahwa soal kualitas layanan harus dan akan diatur. Menurut Cholid Badri, Ketua PDSRI, bila jaminan kualitas dijadikan peraturan Bapeten, maka akan mempunyai kekuatan hukum. Pelanggarnya bisa diajukan ke pengadilan. Hal itu tentu akan lebih efektif dibandingkan bila jaminan kualitas sekadar diatur oleh kode etik profesi.Sejauh ini, ada dua jenis layanan kesehatan yang menggunakan tenaga nuklir, yaitu penyinaran untuk analisis (penyinaran rontgen) dan penyembuhan (radioterapi). Keduanya memang belum tertata dengan baik. “Selama ini, layanan radioterapi di tanah air tumbuh secara seadanya,� kata Ridwan. Satu bidang lainnya, yaitu kedokteran nuklir, juga belum menjadi perhatian utama karena jumlah rumah sakit yang mempunyai layanan itu masih sangat sedikit.KELEBIHAN DOSISPernah, tahun lalu, Bapeten melakukan inspeksi ke 400-an instansi pemberi fasilitas kesehatan, rumah sakit, klinik, dan puskesmas yang melakukan pelayanan radioterapi. Terungkaplah betapa kacaunya dunia pelayanan radioterapi ini. Misalnya, 50 instansi tidak dapat diinspeksi karena berbagai hal, antara lain pindah alamat. Lalu, pesawat radioterapinya tidak ada di lokasi karena telah dialihkan kepemilikannya tanpa melaporkan hal ini kepada Bapeten.Kemudian, ditemukan pula 42 instansi tidak berizin. Selain itu, 365 buah pesawat sinar-X atau alat peradiasi lainnya juga tidak mempunyai izin. Eloknya lagi, 300 instansi mempekerjakan orang yang tidak mempunyai sertifikat yang dibutuhkan. Hanya 98 orang pekerja yang mempunyai sertifikat kerja di bidang radioterapi. Toh, dari 98 yang bersertifikat itu, 39 di antaranya memegang sertifikat yang sudah kedaluwarsa.Lebih jauh lagi, 70 instansi menggunakan peralatan nuklir tanpa mempunyai log book atau buku catatan harian, dan 332 instansi tidak membuat kartu dosis. Padahal, kedua jenis catatan itu sangat vital dalam pelayanan radioterapi. Kemudian, ditemukan pula 280 pekerja radioterapi tidak mendapatkan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Kita tahu, orang yang paling rawan terkena pengaruh radiasi adalah pekerja radioterapi itu sendiri karena ia berhubungan dengan proses penyinaran hampir setiap hari.Kalau kita memutar berkas-berkas catatan sedikit ke belakang, sebuah kasus besar sempat mencuat pada 1997. Kesalahan prosedur telah menyebabkan kematian seorang pasien pada sebuah rumah sakit di Surabaya. Saat itu, petugas rumah sakit membetulkan sendiri alat yang rusak karena ahli reparasinya lama tak juga datang. Tapi inisiatif ini harus dibayar dengan mahal oleh pasien: terjadi penyinaran berlebihan atau overdosis.Yang kemudian sangat memprihatinkan yakni orang yang membutuhkan perawatan radioterapi ternyata sangat banyak. Menurut Cholid Badri, diperkirakan jumlah penderita kanker di Indonesia adalah satu per seribu penduduk alias diduga lebih dari 200 ribu orang. Dan menurut pengalaman, dari jumlah itu, setengahnya akan membutuhkan perawatan radioterapi.PERSAINGAN GLOBALBukan saja pelayanannya yang buruk, tapi kapasitas instansi yang melayani perawatan radioterapi juga terbatas. Di RSUP Cipto Mangunkusumo, Jakarta, setiap tahun hanya bisa tertangani sekitar 2.000 pasien. Di sana, terdapat dua peralatan canggih yang dibeli dari Amerika Serikat sekitar dua tahun lalu, berkat bantuan dari pemerintah Belanda. Dengan asumsi kapasitas rumah sakit yang lain seperti RSCM itu, maka jumlah pasien yang baru bisa ditangani sekitar 44 ribu orang (22 rumah sakit x 2.000 penderita).Itu pun baru soal kapasitas rumah sakit. Belum lagi masalah kurangnya sumber daya manusianya: saat ini, jumlah radioterapist di Indonesia hanya kurang dari 50 orang. Radioterapi memang bukan ilmu yang populer di fakultas kedokteran. Bidang ini bukan lahan basah. “Ahli radioterapi kan membutuhkan peralatan yang sangat mahal yang hanya mampu disediakan oleh rumah sakit besar,� katanya. Jadi, ia tidak bisa buka praktik sendiri.Sebetulnya, yang boleh memegang dan menggunakan alat radioterapi adalah ahli fisika medik. Perannya mirip dengan ahli anestesi pada proses operasi. Bayangkan, menurut penelitian Chalid Badri pada 1998, di Indonesia hanya ada 25 ahli fisika medik. Dari jumlah itu, hanya 13 yang bekerja penuh di bidang radioterapi. Lalu siapa yang melayani perawatan radioterapi? Kesalahan pengoperasian pesawat radioterapi tak hanya menyebabkan kemungkinan pasien disembuhkan kecil, tapi juga sangat mungkin membawa maut.Untuk memperbaiki kondisi seperti itu sebenarnya tak bisa diharapkan hanya melalui peraturan Bapeten. Bila pemerintah wajib memelihara kesehatan masyarakatnya, mestinya disusun program terarah, baik untuk menciptakan tenaga kerja dan para ahlinya, maupun untuk menggalang dana buat membeli peralatannya. Atau, sehubungan dengan persaingan global, yaitu era AFTA dan APEC, dokter dan para pakar asinglah nanti yang akan melayani perawatan radioterapi ini. Bagi pasien, dirawat oleh dokter asing atau dokter Indonesia mungkin tak ada bedanya asalkan ongkosnya sama. Tapi, apa yang bisa dilakukan putra Indonesia selain menjadi konsumen?
Sumber
: http://www.majalahtrust.com/

Tidak ada komentar: